Heliosentris Tidak Sepenuhnya Tepat: Mengapa Planet Tidak Benar-Benar Mengorbit Matahari?

Sejak awal peradaban, manusia selalu berusaha untuk memahami posisi alam semesta. Tiga konsep utama mulai berkembang, dari kepemahaman egosentrisme, geosentrisme, hingga heliosentrisme. Dalam konteks kosmologis awal, manusia purba percaya bahwa fenomena alam seperti terbit dan tenggelamnya matahari berdasarkan persepsi pribadi, mereka memiliki paham ego atau saya (manusia) adalah pusat dari alam semesta.

Zaman berganti, pengetahuan manusia mulai berkembang sehingga muncul paham geosentrisme yang bertahan hingga 1500 tahun, yaitu gagasan bahwa geo atau bumi berada di pusat alam semesta dan semua benda langit mengorbit bumi. Model tersebut pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani kuno, Anaximanders dan dikembangkan oleh Aristoteles. Pada abad ke-2 Masehi, seorang ahli geografi sekaligus astronom, Cladius Ptolemaeus, menyempurnakan model geosentris dalam karyanya Almagest. Paham geosentris kemudian didukung dan diadopsi oleh gereja Katolik sebagai bagian dari doktrin keagamaan.

Meskipun geosentrisme dapat menjelaskan beberapa gerak planet, model geosentris memiliki sistem rumit seperti epicycle yang akhirnya terbukti tidak akurat. Revolusi ilmiah dimulai pada abad ke-16, astronom Nicolaus Copernicus mengajukan model heliosentris, yaitu gagasan bahwa matahari sebagai pusat alam semesta dan semua benda langit termasuk bumi mengorbit matahari. Copernicus menulis teorinya dalam buku De Revolutionibus Orbium Coelestium. Model tersebut menjadi lebih akurat ketika Johannes Kepler memperkenalkan tiga hukum gerak planet yang didasarkan pada pengamatan dan menyatakan bahwa orbit planet berbentuk elips, bukan lingkaran sempurna. Teori ini kemudian diperkuat oleh hukum gravitasi Isaac Newton (1687) dan relativitas umum Albert Einstein (1915) yang menjadikan heliosentris dasar utama astronomi modern.

Namun, paham heliosentrisme tidak sepenuhnya benar secara teknis. Dalam sistem gravitasi, planet tidak mengorbit tepat di pusat Matahari, melainkan mengelilingi titik pusat massa bersama yang disebut barycenter. Konsep barycenter mulai dikenal pada abad ke-17 seiring berkembangnya mekanika Newton, namun istilah dan pemahaman fisiknya mulai dikembangkan lebih sistematis pada abad ke-18 dan ke-19 oleh fisikawan seperti Pierre Simon Laplace dan Joseph Louis Lagrange, yang mempelajari dinamika benda langit secara kompleks.

Barycenter adalah titik di mana dua atau lebih benda langit saling mengorbit karena adanya gaya gravitasi satu sama lain. Titik ini merupakan titik keseimbangan massa dalam sistem, dan letaknya tergantung pada massa dan jarak kedua objek. Jika satu objek jauh lebih besar (seperti Matahari dan Bumi), barycenter akan berada sangat dekat dengan pusat objek yang lebih besar. Namun, jika dua objek massanya mendekati seimbang (seperti sistem bintang ganda), barycenter bisa berada di ruang kosong di antara keduanya. Dalam kasus Matahari dan Jupiter, barycenter berada sedikit di luar permukaan Matahari karena massa Jupiter cukup besar untuk memengaruhi posisi pusat massa bersama. Selain itu, Tata Surya sendiri bergerak mengelilingi pusat galaksi Bima Sakti, menunjukkan bahwa tidak ada benda yang benar-benar diam di alam semesta. Bahkan Matahari, dengan massanya yang dominan, mengalami pergerakan kecil akibat tarikan gravitasi dari planet-planet besar seperti Jupiter dan Saturnus.

 

Animasi barycenter pada sistem tata surya:

https://youtu.be/MDX8kmvPnxU?si=O9io5-rHiOQbseko

Channel YouTube: Williams f.

Berita Terkait

Apakah Logis Sudah Pasti Ilmiah?
(BEC) Bose-Einstein Condensate: Zat Aneh dari ...
Penjelasan Ringkas Lahirnya Mekanika Kuantum: Dunia ...
Keunikan Anomali Air Yang Menjaga Keberlangsungan ...